
P. Mathias Wolff lahir pada tanggal 9 Maret 1779 di Diekirch, kota kecil yang terletak di kaki gunung Herrenburg, wilayah yang bernama Middle-Sauer di Luxemburg. Ayahnya bernama Mathias Wolff dan Ibu Anna Maria Zenner.Di dalam rumah orang tuanya, Mathias kecil tumbuh dalam kesalehan yang sederhana dan menyaksikan iman yang kuat.
Pada tahun 1790-1791 ia belajar di Kolese Theresianum di Luxemburg. Tahun berikutnya ia belajar pada sekolah Biara Benediktin di Stavelot (Belgia). Tahun 1799 pemerintah Perancis menyuruh pemuda-pemuda Luxemburg supaya masuk tentara Perancis. Mathias Wolff juga harus mendaftarkan diri untuk masuk tentara bersama teman-temannya. Dalam pendaftaran ia mendapat nomor yang paling tinggi. Wolff langsung lari ke perbatasan Jerman dan dalam waktu dua tiga hari ia sampai di kota Köln.
Di sana ia mendapat kesempatan belajar filsafat dan Teologi di Universitas Köln yang dipimpin oleh beberapa mantan pater Yesuit. Jalan imamat terbuka baginya. Tanggal 9 April 1801 ia diangkat menjadi sub-diakon dan tanggal 25 April 1802 Mgr. de Merie, Uskup Pembantu di Köln menahbiskannya menjadi imam diosesan, setelah Paus Pius VII memberi dispensasi/pembebasan dari hukum kanonik bahwa seseorang baru dapat ditahbiskan menjadi imam kalau ia sudah berumur 24 tahun. Pada waktu itu ia belum berumur 22 tahun ketika ia ditahbiskan. Misa perdananya dipersembahkan di Derenbach. Pada akhir tahun 1802 ia menjadi pastor pembantu di Useldingen. Satu tahun kemudian ia dipindah menjadi Pastor pembantu di Diekirch, desa kelahirannya. Selanjutnya ia menjadi pendidik di Seminari Menengah di Metz dan kemudian sebagai Pastor Paroki di Dudelingen.
P. Mathias Wolff anak zaman itu bukan hanya karena fakta-fakta yang mempengaruhi perkembangan hidupnya, tetapi juga karena kepribadiannya terbentuk dalam situasi dan semangat zamannya. Ia seorang yang akrab dengan rakyat jelata. Ia seorang manusia yang berani dan tabah, yang dapat mengambil resiko. Pengalaman hidup membuat dia seorang pejuang. Seorang yang tidak mudah menyerah kepada apa yang dijumpainya.Ia dapat melawan dengan menolak atau mengundurkan diri. Kadang-kadang dengan bekerja terus untuk mencapai tujuannya melalui jalan yang lain. Ia menghormati hak dan kemungkinan-kemungkinan orang lain. Perjuangannya menjadi pembebasan bagi mereka, tetapi seperti setiap orang lain, P. Wolff juga mempunyai kelemahan, Ia tidak pandai berorganisasi, dan hal itu menimbulkan konflik-konflik dengan teman sekerja atau penggantinya.
Sebagai seorang Kristiani yang diberi Kharisma khusus, ia membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus melalui tuntutan Injil dan pewartaannya sebagai pelayan umat. P. Wolff menerima Sabda Allah dan memberi jawaban kepadanya. Dalam seluruh hidupnya ia mengarahkan perhatiannya kepada kemuliaan Allah yang lebih besar “Orang merasa dicengkam oleh Allah sedemikian rupa sehingga tidak lagi menginginkan sesuatu kecuali apa yang diinginkan Tuhan.”
Mathias Wolff sadar bahwa ia terpanggil untuk mengabdi kepada Gereja. Panggilan ini akhirnya menjadi jelas baginya sesudah banyak mencari. Perutusannya muncul dalam panggilannya. Ia menghayati dan mengalami panggilannya paling konkrit selama ia bekerja di Belanda. Waktu itu ia menyadari apa artinya diutus ke sebuah negara dimana orang katolik berjuang dibawah tekanan penindasan, yang sudah berjalan berabad-abad lamanya.Dengan semangatnya yang berkobar-kobar ia mendukung dan mendorong cendekiawan katolik dalam perjuangan yang telah dimulai untuk beremansipasi. Melalui khotbah-khotbahnya, pelajaran agama dan misi umat, ia berusaha menghidupkan kembali semangat katolik diantara orang katolik.